Semalam ingin sekali aku segera menelisik celah-celah
pagi karena malam memberiku suatu sunyi yang tiba-tiba. Terbesit kala itu aku
ingin menjadi sebuah puisi atau prosa yang dapat orang lain mengerti maksud
kandungan isi yang ingin disampaikan. Di tempat pembaringan aku merenung,
merengkuh semalaman tak dapat rasanya memaksa mata untuk hanyut terlelap
digelapnya lampu yang kumatikan.
Mataku tak kunjung berair, kutampar wajahku agar kelak
aku kesakitan kemudian menangis didalam keadaan namun sayangnya itu sia-sia.
Tamparan-tamparanku hanya menyisakan sebuah lebam ataupun telapak merah yang
esok pagi ketika mandi pun akan hilang. Sehimpun kata kukatakan kepada
dinding-dinding diam, ataupun separagraf tulisan yang menebas habis untaian
rindu yang semakin sendu.
“Aku telah melukainya. Karena aku dia meneteskan air matanya. Sebuah pesan yang kukirim terbalaskan luka perih darinya. Aku telah, aku sumber masalah.”
Lelaki sepertiku mungkin sulit untuk menangis karena air
mataku telah lama dikikis habis oleh kejamnya waktu yang lalu.
Sejumput harap kusertakan dalam keadaan yang pengap ini, setitik
cahaya yang kucoba ikuti.
Kusudahkan gumpalan atau entahlah mungkin juga sebuah
renungan riuh dari benak yang sedang berantakan, hati yang sedang bolong-bolong
karena terkena tusukan dan jiwa yang berharap segera di hanyutkan keadaan.
Namun bolehkah aku memanah pertanyaan keatas awan hitam tak terlihat?
“Bagian mana dari setiap bagian hidupku yang tak kuberi untukmu, sayang?”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar