“Fira,” teriakan
seorang lelaki dari tangga.
“Eh Felix, ada apa?”
menenggak ke arah sumber suara.
“Bisa nggak naik
kesini sebentar?” melambaikan tangan ke arah tangga.
“Tunggu sebentar,”
tangannya di angkat seperti polisi memberhentikan mobil.
“Ada apa Lix, tumben
banget lo manggil gue?” suaranya terengah-engah karena berlari menaiki tangga.
“Ini gue mau ngasih
buku catetan kecil yang dititipin Vino, katanya buku itu harus dikasihin buat
lo. Gimana lulus nggak? Nilainya bagus?” memberi sebuah buku catatan dengan
cover berwarna hijau.
“Lah kenapa nggak si
Vino aja yang ngasih langsung ke gue? Lulus dong! Nilainya alhamdulillah
lumayan,” tersenyum namun heran dan terus membolak-balikan buku itu.
“Sekarang rumah dia
udah pindah. Oh bagus deh. Oh iya gua turun dulu ya mau ngecek nilai juga,”
suasana kemudian senyap ketika mendengar sebuah pertanyaan yang suli untuk
dijawab.
“Pindah kemana? Kok
dia nggak bilang sama gue? Biasanya semua yang dilakuin dia pasti gue tau?”
heran dan semakin penasaran ditambah merasa kebingungan..
“Baca aja. Entar juga
lo tau,” teriak Felix jauh dibawah tangga dasar, seperti menghindari pertanyaan
Fira.
Kemudian Fira masuk
kedalam kelas dan duduk ditempat biasa ia duduk, memilih posisi yang paling
nyaman dari kelas yang hanya dihuni sedikit siswa.
Dan, Fira mulai
membaca..
***********Sreeeeek
membuka buku***********
Persahabatan adalah
sebuah tali, yang mengikat untuk saling mendekatkan untuk berbahagia dalam
kebersamaan. Namun tanpa disadari ada hati yang tertali mati untuk selalu
bersama dalam duka maupun suka, hingga semua terasa saling melengkapi dan
semakin lama tumbuh rasa ingin memiliki, lebih dari sekedar teman. Karena
persahabatan telah mengikat didalam waktu, dan terpaksa harus merelakan cinta
untuk dapat bersatu.
******
Dua tahun lalu saat pertama kali masuk kedalam kelas 11. Ada seorang
wanita yang selalu ceria dan memecah tawa teman-teman disekitarnya, seorang
gadis yang selalu membawa mentari disela-sela senyum manisnya. Ketika itu dia
teramat dikenal oleh teman baru disekitarnya, dan mungkin wanita itu tak pernah
mengetahui mengapa dia amat dikenal dikelas baru itu.
Gadis itu bernama Fira, seorang wanita dengan tinggi 160 cm. Tidak
terlalu tinggi memang, namun kehadirannya selalu membuat level tertinggi dari
senyum lelaki. Rambutnya hitam, panjang, indah dan jujur membuatku terpesona.
Meskipun aku tak pernah percaya pada ungkapan love at the first sight tetapi untuk kali ini, prinsip itu harus
kutelan sendiri. Untuk lebih sederhananya dia teranugrahi memiliki wajah
cantik.
Sebelumnya aku tak pernah melihat dia, apalagi mengenalnya. Karena
ketika kelas 10 aku sibuk dengan tindakan bodoh yang selalu kubanggakan. Pada
momen itu mata terus saja mengawasi gerak-geriknya, seakan tak ingin kehilangan
di sedikitpun kesempatan. Aku belum berani untuk datang dan bersalaman untuk
langsung mengenali, keberanianku hanya cukup untuk mengawasinya saja. Ah, dalam
hati ribut sendiri sembari harapan dibawa pergi menjauhi untuk saling memiliki.
Di hari pertama itu tak ada satupun guru yang masuk untuk mengajar,
hanya datang lalu pergi keluar dan asiknya tak ada tugas yang harus dikerjakan.
Aku duduk dibelakang barisan ke 2, dan Fira duduk bersebarangan jauh dari temat
dudukku. Aku perhatikan ketika ia sedang bercanda dengan teman-temannya, senyum
terurai membuat hati ini kian gontai. Ketika menggelak tawa, matanya sangat
indah juga serasi dengan kelopaknya. Seketika terlintas doa dan rasa terima
kasih untuk Tuhan karena telah mencipta gadis seindah dia. Saat sedang senyam-senyum
sendiri memandangnya, berkhayal jauh tentangnya, tiba-tiba tidak disengaja Fira
menoleh kearahku. Jantungku berdebar keras, badan seperti butuh tiang penyangga
untuk dapat berdiri dan ekspresi gugup membuat sekujur tubuh gemetar
beriiringan.
Aku pasrah dan menyerah, Tuhan..
******
Aku bangun dan melihat jam dinding di samaping lemari. Pukul setengah
dua belas siang. Dengan lunglai aku menuju kamar mandi untuk bersiap pergi ke
sekolah.
Aku siap, tak lupa sebelum berangkat membaca doa yang telah diajarkan
guruku. Dengan perasaan sedikit malas aku berangkat menuju sekolah.
******
Gerbang sekolah terlihat ramai, siswa-siswi yang belajar pagi baru
selesai. Kini, giliran siswa-siswi kelas 11 masuk karena sudah tradisi jika
anak-anak kelas 11 masuk disiang hari. Diparkiran aku bertemu dengan Felix
teman sabangku ku.
“Felix.” aku berteriak kearahnya yang sedang menyimpan helm di spion
motornya.
“Weess, apa bro? Baru dateng lo?” menoleh kearahku sambil berjalan
keluar dari parkiran motor.
“Iyanih, biasalah Bogor. Kaya nggak tau aja macet sama angkotnya, suka
ngetem disembarangan tempat,” aku tersenyum kecil mengkritisi mengenai kota
yang aku cintai.
“Hahaha, iya bener banget tuh apalagi siang-siang gini. Vin, udah agak
telat nih, cepetan masuk yoo. Sekarang pelajaran ekonomi, lo mau entar diomelin
selama dua jam pelajaran? Kaya nggak tau aja siapa gurunya,” Felix tertawa
keras membuat kulitnya yang putih kemerah-merahan. Dan ia pun mengingatkanku
tentang guru yang terkenal bawel dan comel itu. Dan kami berdua pun
berlari-lari kecil menuju tangga kelas.
******
“Anak-anak untuk materi
tentang kurs ini, akan dibagikan
beberapa kelompok. Untuk kelompoknya akan dibagi sesuai jadwal piket. Ada yang
keberatan?” Suara khas Pak Herman terdengar ke seantero isi kelas.
“Pak, jangan sesuai
jadwal piket deh, gimana kalo dipilih sendiri-sendiri aja?” Anis mengacungkan
tangan dan merasa keberatan.
“Oh yasudah kalau
begitu tetapi bapak minta satu kelompok diisi tiga wanita dan dua laki-laki.
Cukup jelas anak-anak? Sekarang segera kumpulkan nama-nama anggota kelompok
didalam kertas selembar,” Pak Herman pun mengabulkan permintaan Anis namun
tetap dengan sebuah persyaratan.
Dan teman-temanku
dikelas sibuk bernegosiasi untuk memilih anggota kelompok. Ada yang sudah
menemukan kelompoknya karena mereka satu geng, ada yang masih sibuk memohon
kesana-kesini untuk masuk kedalam kelompoknya, juga ada yang menawari diri agar
dipilih sbagai kelompok yang diisi murin favorit. Sebenarnya sempat aku dan
Felix bingung karena tak ada satupun yang mau memasukan kita kedalam kelompok
mereka. Apa daya jika tak ada yang mau, maka harus berbesar hati menerima
kelompok sisa yang ada.
“Vino, lo udah dapet
kelompok belum?” terdengar ada suara manis, merdu memanggilku dari belakangku.
“Belum, nih kayannya
nggak ada yang mau deh satu kelompok bareng gua sama Felix.” menoleh kearah
sumber suara dan ternyata itu Fira.
“Oh kalo gitu mau
nggak gabung sama kelompok kita?” mengajakku sembari memegang pulpen dan
sehelai kertas untuk menulis nama-nama anggota.
“Oh yaudah oke deh,
tulis juga si Felix, dia juga belum dapet kelompok, Fir.” menunjuk kearah Felix
yang duduk melamun dengan khayalan terbang tinggi.
“Iya, kalo gitu yu
gabung ke meja gue sekarang barengan sama yang lain,” tangan lembut menarik
lenganku untuk segera menuju mejanya. Andai ini tangannya ini bisa bertahan
lama memegang lenganku.
“Iya, iya. Tapi
bentar manggil si Felix dulu.”
“Felix, Felix
kesana,” berteriak memanggilnya sambil mengisyaratkan tangan kananku untuk
menuju meja Fira.
“Oke,” suara Felix
sayup terdengar samar karena dikalahkan bisingnya suara lainnya, dan jempolnya
ia angkat keatas langit.
******
Berada satu meja yang
hanya terhalang satu kursi membuat fikiran ini terbang, namun kemudian jatuh.
Terbang, karena
terlalu bahagia dan juga ini pertama kalinya Fira menyebut namaku dengan benar.
Cukup mengejutkan memang karena selama ini aku hanya memandangnya dari kejauhan,
untuk mendekat dan berkenalan pun rasanya sekalipun tak pernah. Satu hal yang pasti, dia tau namaku.
Namun membuatkan jatuh kembali jika mengingat waktu yang kuhabiskan untuk diam,
dan memandang indah dari kejauhan. Untuk sekedar kita berkenalan harus
membutuhkan waktu delapan bulan, sia-sia kah ini semua? Namun kata para
pujangga tidak ada yang sia-sia selama mau berusaha. Aku harap itu memanglah
ungkapan bijak, dan akan tetap bijak jika dilakukan.
“Vin, Vinooo!!! Ini
gimana kalo ngitung kurs rupiah ke
euro?” lima jemari Fira mendadah-dadah dihadapan wajah, memecah angan dan
renungan yang berada difikiran.
“Ehhhh, apaan? Maaf
lagi nggak konek?” dengan gelagapan juga dengan senyum malu aku kembali melihat
sebuah buku besar akutansi.
“Ah kusut nih orang,
bengong terus dari tadi. Mikirin pelajaran apa mikiran pacar yang belum dikasih
makan sih?” Felix mendorong bahuku sehingga membuat posisi dudukku bergeser
lebih mendekatkan kepada Fira.
“Ah ngaco lo,
udah-udah ini fokusin dulu nih soal jangan becanda mulu, entar nggak
kelar-kelar ini soal. Biar cepet ngitungnya pake handphone aja, keluarin gih!” wajahku sedikit muram namun kulihat
satu kelompok tertawa mendengar apa yang dikatakan Felix. Dan tanpa disadari
aku memperhatikan Fira walaupun aku sangat yakin dia tidak tau sedang
diperhatikan. Senyumnya serasi diantara kedua lesung pipi, bibirnya merah
membuat gradasi di dasar warna kulit putihnya.
Membuatku semakin
yakin, dialah wanita yang kutunggu untuk kucinta.
******
Bermula dari kelompok
pelajaran ekonomi itu, kita kini lebih sering berbicara bersama. Aktif dalam
bercenda ketika pelajaran dan ketika guru tidak ada, pasti kita berdua habiskan
bersama. Walaupun aku terlihat kaku namun Fira membuatku semakin cair didalam
tumpukkan ragu. Dan kita juga sering pulang bersama, mungkin bagi Fira itu
hanya kebetulan bertemu dijalan namun sebenarnya itu adalah sebuah perencanaan.
Setiap jam pulang aku mengendap dan menunggu di kantin, menguntit apakah Fira
sudah pulang atau belum. Jika sudah aku berjalan dibelakangnya secara perlahan,
agar semua terkesan kebetulan, sebab aku takut jika Fira tau ia tidak akan mau
melewati jalur ini lagi.
Untuk sekarang ini
tidak ada sedikitpun hari yang kusia-siakan bila bersamanya. Ada hal lain yang
berbarenngan akan selalu ada dalam setiap keadaan yang tercipta sekarang, yaitu
status. Teknisnya kita berdua hanya teman, tidak lebih. Namun rasa yang
kupendam melampaui status yang akan selalu ada jika kita bersama, teman.
Seringkali semangat menggebu-gebu ingin memiliki, dicintai kembali dan ketika
rindu tak perlu harus membuat bingung sendiri. Tetapi pertanyaan yang kesepian
ajukan selalu sama,
“Apakah dia merasa
sama seperti yang kamu rasakan?”
Kurasa tidak, dia
sendiri selalu menganggapku seperti teman lainnya. Bahkan jika tau dia akan
mengerti tentang puisi-puisi yang aku beri, yang kubuat sepenuh hati, setumpuk
rindu dan segumpal doa sederhana. Sesederhana, dia tau apa yang ada dihatiku.
Dan pada suatu sore
yang mendung ketika hujan baru saja turun dan gerimis sisa hujan lebat enggan untuk pergi, pada waktu itu Aku dan
Fira sedang menunggu hujan reda sembari berbincang dan bercanda di suatu halte
Jalan Baru ada sebuah realita lagi yang membuatku semakin yakin, Fira tak
pernah sedikitpun cinta padaku. Fira memiliki pacar bernama Diki. Dia sendiri
yang menceritakan dengan antusias tinggi, dari matanya ketika bercerita banyak
tentang Riki. Aku sudah mengetahui dia diselimuti rasa cinta sepenuh hati,
tanpa sisa untuk Aku-yang-selalu-ada-bersamanya.
“Vino, hari ini gue
lagi seneng banget tau,” tersenyum-senyum melihat layar smartphone yang ia
genggam.
“Bukannya setiap hari
juga lo seneng kan? Setiap hari juga lo sering cengengesan,” suara dingin tanpa
sadar aku ucapkan dan pandangan kaku tetap mengintai angkot yang kita tunggu.
“Tuh kebiasaan
jawabnya dingin terus, sekarang bahagianya beda tau. Lo nggak tau emang kalo
gue sekarang udah punya cowok, ganteng parah namanya Diki. Bentar lagi katanya
dia mau jemput kesini, tungguin gue ya sampe dia dateng. Makanya gue bahagia
banget sekarang,”
“Oh gitu, iya entar
gue tunggu sampe cowok lo dateng. Lo bahagia banget sekarang? Memang lo nggak
pernah bahagia kalo sama gue?” seketika pertanyaan itu terlontar, pertannyaan
yang telah lama ingin kutanyakan dan kucoba lenyapkan. Membuat percakapan
terasa senyap terlebih aku menanyakan dengan serius.
“Yaa bahagialah kan
lo temen terbaik gue, yang selalu ada buat gue. Kalo gue nggak ngerti
pelajaran, gue nanya sama lo. Ulangan lo sering banget gue contekin dan curhat
pun gue cuma sama lo. Masa iya gue nggak bahagia sama lo Vin. Karena Tuhan
menciptakan Vino buat jadi temen gue hahaha,” jawab Fira dengan ekspresi
seperti biasa, tersenyum indah.
Sebuah motor matic
hitam dengan jas hujan biru berhenti didepan halte dan terlihat Fira melangkah
kedepan dengan senyuman. Ternyata ini dia lelaki paling beruntung didunia yang
telah memagari hati bidadari yang dititip oleh surga, untuk dijaga.
“Vino duluan yaa,
bye-bye,” pamit lalu menaiki motor untuk diantar ketempat asal singgasananya.
“Oh iya, hati-hati,”
senyum getir terpaksa harus dipaksa untuk berbahagia melihatnya.
Sejak dari sore yang
mendung itu aku memutuskan untuk tak akan pernah menunggu Fira lagi. Aku merasa
terpukul telak dibagian wajah, dalam hal ini hatiku luluh lantah melihat dan
mengetahui itu semua. Rintikan hujan di senja itu membuat matahari tau dan tak
mau menampakan diri di awan mendung itu, mungkin dia tau ada seorang lelaki
yang diterjang badai hebat dihatinya. Namun didalam keadaan aku terus
dipaksakan untuk terus menebar senyuman,
aku akan tetap berjuang untuk membuat Fira nyaman.
Kulakukan, atas nama
persahabatan..
******
Tak terasa sudah dua
tahun aku bertahan, bersembunyi dibalik topeng persahabatan untuk menjaga
perasaan yang sedari dulu terus aku tekan, agar tidak mucul ke permukaan.
Sekarang sudah diakhir penghujung semuanya harus berakhir. Detik yang terus
bergerak membuat dua buah pilihan, menahan atau ungkapkan. Walaupun dikelas 12
kini aku duduk bersebelahan bersama Fira tetapi entah mengapa setiap waktu
membuat hati gundah dan gelisah. Kurasa kini dia mulai mengendus sesuatu yang
beda dari biasanya dariku namun dia hanya berpura-pura tidak mengetahuinya,
entahlah. Anehnya tujuan ku kini terasa bergeser haluan dari yang “ingin
memiliki” menjadi “ingin melihatnya bahagia” mungkin karena aku terlalu sadar
diri jika untuk memiliki seperti memancing paus menggunkan plastik. Dengan Fira
tertawa, aku bahagia. Apapun yang Fira bicarakan seperti ada kewajibanku untuk
ikut masuk dalam percakapan.
Hingga pada suatu
pagi yang diawali hujan dari gelapnya biru dilangit sehabis shubuh, membawa
rintikan hujannya hingga jam 9 pagi. Ketika itu ada tugas bahasa indonesia
untuk membuat puisi, aku yang lupa tidak membuat barisan puisi untuk tugas itu
panik. Namun aku berfikir jernih, aku ingat di handphone nokia ku ini ada
beberapa soundcloud dari Dara Prayoga
penulis yang amat kusukai karya-karyanya. Terlebih bukunya sejalan dengan kisah
hidupku. Aku ingat judul Soundcloud nya adalah; 1000 Tahun Aku Akan Menunggu. Setelah
ku dengar lalu ku tulis dalam secarik kertas kemudian ku bawa ke meja guru.
“Bu, ini bu puisinya.
Maaf ya bu kalo jelek,” berbicara seperti layaknya puisi dibuat adalah hasil
pemikiranku sendiri.
“Puisinya bagus Vin,
kamu buat sendiri?”
“Nggak bu, dapet dari
internet,” gugup dan takut dimarahi.
“Oh yaudah, kembali
ketempat duduk kamu,”
Aku membawa secarik
kertas itu kembali ke mejaku. Dari depan aku melihat Fira sedang menulis, tanpa
fikir panjang aku memastikan langkah dengan satu tujuan yaitu memberikan puisi
ini kepadanya.
“Fira, lagi apa?”
duduk disebelahnya dan melihat bukunya.
“Lagi nulis,”
jawabnya
“Fir, gua mau ngasih
puisi lagi nih buat lo. Lo masih mau nerima puisi yang gua kasih kan? Tapi
bacanya entar aja dirumah kalo bisa pas malem-malem supaya lebih beras”
menjulurkan kertas kesebelah buku yang sedang ia tulis.
“Oh iya maulah, kalo
gitu masukin ke tas dikantong kecil belakang supaya nggak lupa,” dia berbicara
padaku namun matanya tetap serius menulis.
******
Kamu tau? mata ini berbinar
ketika mendengar gelak tawa saat kita bercanda
Mungkin kamu tidak sadar aku
melihat selengkung pelangi dimatamu saat berkisah tentang hidupmu
Semua yang kamu tau apa yang aku
katakan sebagai respon ceritamu itu seperti motivator menceramahi audiensnya
Namun yang aku rasakan aku
melakukan semuanya atas nama rasa,
Rasa berupa degup kencang ketika
kepalamu begitu dekat dengan pundakku saat duduk berdua
Rasa berwjud gugup saat kamu
dengan antusias mengajakku berbicara untuk bercerita dan rasa berbalut cemburu
ketika kamu dekat tapi bukan denganku
Kadang sepasang lelaki dan
perempuan lupa bahwa mereka hanya sekedar teman tidak lebih, yang lebih hanya
rasa diantara mereka
Kadang juga dalam sebuah pertemanan dua manusia
saling memiliki rasa dan saling menyangkal
pula itu cinta
Seperti yang aku rasakan padamu,
jika tidak mengapa seorang teman bisa secemburu ini seperti aku kepadamu,
apakah kamu merasakan hal yang sama kepadaku?
Teman antara sebuah hal indah
yang bisa mendekatkan aku dengan kamu atau sebuah omong kosong yang menjadi
penghalang bersatunya hati kamu dengan hati aku
Seribu tahun aku akan
menunggu
Aku ingat itu adalah
sajak terakhir dalam secarik kertas yang kuberikan pada Fira. Meskipun masih
ada puluhan puisi ataupun cerita mengenai Fira di laptopku. Namun untuk
kuberikan padanya cukuplah itu yang terakhir. Dimalam setelah kuberikan puisi
terakhir hati ku diguncang perasaan aneh, memikirkan apakah Fira menyukai puisi
itu atau tidak. Sejenak aku merenung, aku terlalu pengecut dan takut. Mana
mungkin Fira tau jika aku tak pernah berbicara tentang apa yang dirasa. Aku
sudah berfikir dua kali atau mungkin ribuan kali tentang ini dan akhirnya ini
memang sudah dalam tahap semuanya telah berakhir. Mungkin bagi Fira ini adalah
sebuah tali persahabatan, namun untukku ini sebuah bunga karangan bertuliskan
atas nama persahabatan. Persahabatan mana yang harus mematikan perasaan.
Dalam persahabatan,
apakah harus perasaan yang digadaikan untuk hilang dan dibiarkan mati tertelan
kebersamaan? Adilkah?
******
Itulah puisi terakhir sekaligus terakhir kalinya aku duduk
berdua bersama Fira karena setelah hari itu aku memutuskan untuk pindah kursi
ke depan. Menimbulkan sebuah tanya atas alasan yang kulakukan namun aku pergi
bukan karena cinta ini sudah hilang ataupun tergerus arus untuk menyerah.
Justru karena ingin memperjuangkan persahabatan, aku memilih mematikan cinta
yang ada. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk Fira dapat berbahagia dan
tidak terganggu oleh puisi aneh dariku. Karena siapapun yang menjadi tambatan
hatinya mereka haruslah lelaki-lelaki yang berani, yang menjaga, bukan seperti
aku yang terlalu takut ataupun pengecut yang terus menurut pada sebuah
ungkapan. Demi ungkapan itu hatipun dipertaruhkan dan rasa sakit harus ditahan
dalam waktu entah sampai kapan. Meski selalu berbahagia atas apapun yang pujaan
hati capai sebenarnya hatinya terus berderai air mata, benaknya ramai oleh
tujuan yang harus dikepinggirkan. Sebenarnya pencapaian tertinggi yang ingin
kucapai adalah menggapaimu dalam rasa saling sayang.
*Ungkapan seorang teman tidak akan
menjadi pasangan.*
Percayalah, Fira
walaupun aku sangat tau aku gagu dalam menyatakan cinta padamu sebenarnya aku
hanya ingin berjuang demi persahabatan kita. Maaf aku telah mencorengnya dengan perasaan yang kupunya namun bukankah
cinta itu datang tiba-tiba, tanpa permisi? Apakah aku salah menyimpan harapan
kepadamu? Salahkan jika seorang teman jatuh cinta padamu? Jangan pernah untuk
berfikir jauh tentang aku yang mulai menjaga jarak untuk kita, ini semata-mata
karena ucapanmu dulu. Kita tercipta hanya sebagai teman. Namun jika kamu tau
aku selalu berdoa agar Tuhan berkehendak lain, agar kita tercipta menjadi
pasangan.
Akhir dari semua ini
tepat seperti yang kamu impikan, berakhir dalam persahabatan. Namun melenceng
dari yang aku perkirakan, kukira akan berakhir dalam satu naungan. Ternyata
tidak sama sekali.
Fira, aku memutuskan
untuk mencintaimu dari jauh, dari tempat yang sama sekali kamu tidak pernah
lihat. Sebuah tempat yang sangat gelap namun cahayamu cukup terang untuk
kulihat dari sini. Jangan resah jika aku tak lagi ada disampingmu, aku hanya
berpindah tempat mengawasimu. Percayalah setiap puisi yang kuberikan untukmu
jika kamu membacanya, aku akan ada disampingmu. Memeluk erat jiwa terdalam
hatimu, dan melukis sedikit senyummu.
Oh iya gelang yang
kuberikan bertuliskan “Friend” itu kumohon simpan, karena aku membawanya hingga
ke tempatku yang baru kini.
Mungkin aku menulis ini
seperti sebuah cerpen yang sulit dimengerti, tidak beraturan dan melanggar kaidah
penulisan yang ada. Aku sangat ingin catatan ini kita baca berdua dan kuberikan
sendiri untuk kita tertawakan, namun apa daya pasir waktu sudah habis dari
gelas bejana. Satu perrmintaan yang sangat ingin kamu lakukan, tetaplah menebar
senyum seindah mentari yang dimilika oleh mu, Fira. Dan tersenyumlah selagi
kamu masih bisa tersenyum. Karena semua ini telah berakhir untukku, namun belum
berakhir untuk dirimu.
Fir, untuk sesekali
kunjungilah rumah baruku yang sederhana nanti, bawalah sedikit parfum bunga
melati untukku, ya.
Satu lagi, ada puisi
yang berhasil kuselesaikan sebelum aku pindah ketempatku yang baru ini
terinspirasi dari lagu Tears In Heaven- Eric Clapton. Mungkin kamu akan bertanya dimana sebenarnya rumahku yang
sekarang, dan dimanakah aku sekarang berada.
Puisi ini akan menjelaskan pertanyaan yang ada.
Sudahkah kamu
mengenaliku dengan baik?
Apakah kamu akan
benar-benar mengenalku dengan baik nanti?
Kurasa tidak, kamu
telah banyak mengenali dengan baik lelaki sempurna lainnya
Apakah kamu akan
mengingatku ketika aku sudah menapaki surga nanti?
Mungkinkah kamu akan
menggenggam tanganku ketika kita dipertemukan disurga nanti?
Apakah senyummu akan
tetap sama ketika aku menatapmu disurga nanti?
Apakah puisiku akan
tetap kamu bacakan ketika kamu sedang membca buku nanti?
Apakah namaku akan
kamu sebut ketika kamu ingat sesuatu tentangku nanti?
Apakah rindukku akan
berbalas ketika aku kesepian disurga nanti?
Akankah sama rasanya
hangatnya didekatmu dengan kehangatan disurga nanti?
Apakah kamu mendengar
tangisan kerinduan yang kuteriakan disurga?
Akankah kamu melihat
silluet fatamorgana lambaian tanganku didalam mimpimu?
Bisakah kita bertemu
didalam mimpi jika aku sudah terbaring lemah dalam akhir perjalanan?
Jika bisa aku hanya
ingin bilang aku sayang padamu lebih dari jarak dari perputaran waktu
Akankah aku berjalan
tenang ke singgasana terakhir jika cinta belum tersampaikan?
Dan apakah kamu mau
menadah tangan terselip doa untuk menemaniku perjalananku nanti?
Itu hanya sedikit
sebuah tanya ketika aku tiada nanti
Sebuah tanya yang
akan menimbulkan tangisan dari surga.
Karena aku tidak bisa
hidup entah sampai kapan, aku hanya bisa hidup hingga waktu yang Tuhan
tentukan.
**If you know i love you, it just began of my tears in heaven**
Catatan ini kutinggalkan untukmu, Fira Anggiswari
Temanmu
Vino Razianska
***braaaaaakkk***
Terdengar pelan suara buku terjatuh, diiringan suara tangis wanita yang
tertahan. Mulutnya membungkam diri, dan terlihat ada jalur air mata antara mata
dengan pipi hingga jatuh ke lantai. Matanya semakin lebam karena coba menahan
air mata yang terus berjatuhan, hatinya serasa di tusuk dan fikiran idealisnnya
terasa ambruk. Tak ada yang mampu ia katakan dan dia tak mau mendengar apa yang
orang lain coba katakan, untuk menenangkan. Kini ia hanya mampu menyesali
karena tak pernah coba mengerti akan apa yang coba ingin disampaikan Vino.
Vino hanya ingin Fira mengetahui tentang perasaanya dalam hati. Dan
juga Vino berjuang demi persahabatan yang coba dirusak dengan adannya perasaan untuk
ingin memiliki lebih dari sekedar teman.
Benar kata Vino “Akhir
dari semua ini tepat seperti yang kamu impikan, berakhir dalam persahabatan.
Namun melenceng dari yang aku perkirakan, kukira akan berakhir dalam satu
naungan. Ternyata tidak sama sekali.”
--Sebenarnya pengorbanan
yang tak kenal waktu adalah salah satu cara terhebat untuk menghabiskan waktu
tersebut, namun kadang kita lupa selalu ada hal yang harus dibayar untuk
beberapa hal yang kita abaikan dalam pengorbanan itu, dalam kasus ini adalah
perasaan--

Tidak ada komentar:
Posting Komentar