Translate

Rabu, 25 Juni 2014

Buku Catatan Vino


“Fira,” teriakan seorang lelaki dari tangga.
“Eh Felix, ada apa?” menenggak ke arah sumber suara.
“Bisa nggak naik kesini sebentar?” melambaikan tangan ke arah tangga.
“Tunggu sebentar,” tangannya di angkat seperti polisi memberhentikan mobil.
    
                                                                    -----
“Ada apa Lix, tumben banget lo manggil gue?” suaranya terengah-engah karena berlari menaiki tangga.
“Ini gue mau ngasih buku catetan kecil yang dititipin Vino, katanya buku itu harus dikasihin buat lo. Gimana lulus nggak? Nilainya bagus?” memberi sebuah buku catatan dengan cover berwarna hijau.
“Lah kenapa nggak si Vino aja yang ngasih langsung ke gue? Lulus dong! Nilainya alhamdulillah lumayan,” tersenyum namun heran dan terus membolak-balikan buku itu.
“Sekarang rumah dia udah pindah. Oh bagus deh. Oh iya gua turun dulu ya mau ngecek nilai juga,” suasana kemudian senyap ketika mendengar sebuah pertanyaan yang suli untuk dijawab.
“Pindah kemana? Kok dia nggak bilang sama gue? Biasanya semua yang dilakuin dia pasti gue tau?” heran dan semakin penasaran ditambah merasa kebingungan..
“Baca aja. Entar juga lo tau,” teriak Felix jauh dibawah tangga dasar, seperti menghindari pertanyaan Fira.
Kemudian Fira masuk kedalam kelas dan duduk ditempat biasa ia duduk, memilih posisi yang paling nyaman dari kelas yang hanya dihuni sedikit siswa.
Dan, Fira mulai membaca..

                                    ***********Sreeeeek membuka buku***********


Persahabatan adalah sebuah tali, yang mengikat untuk saling mendekatkan untuk berbahagia dalam kebersamaan. Namun tanpa disadari ada hati yang tertali mati untuk selalu bersama dalam duka maupun suka, hingga semua terasa saling melengkapi dan semakin lama tumbuh rasa ingin memiliki, lebih dari sekedar teman. Karena persahabatan telah mengikat didalam waktu, dan terpaksa harus merelakan cinta untuk dapat bersatu.

******
Dua tahun lalu saat pertama kali masuk kedalam kelas 11. Ada seorang wanita yang selalu ceria dan memecah tawa teman-teman disekitarnya, seorang gadis yang selalu membawa mentari disela-sela senyum manisnya. Ketika itu dia teramat dikenal oleh teman baru disekitarnya, dan mungkin wanita itu tak pernah mengetahui mengapa dia amat dikenal dikelas baru itu.
Gadis itu bernama Fira, seorang wanita dengan tinggi 160 cm. Tidak terlalu tinggi memang, namun kehadirannya selalu membuat level tertinggi dari senyum lelaki. Rambutnya hitam, panjang, indah dan jujur membuatku terpesona. Meskipun aku tak pernah percaya pada ungkapan love at the first sight tetapi untuk kali ini, prinsip itu harus kutelan sendiri. Untuk lebih sederhananya dia teranugrahi memiliki wajah cantik.
Sebelumnya aku tak pernah melihat dia, apalagi mengenalnya. Karena ketika kelas 10 aku sibuk dengan tindakan bodoh yang selalu kubanggakan. Pada momen itu mata terus saja mengawasi gerak-geriknya, seakan tak ingin kehilangan di sedikitpun kesempatan. Aku belum berani untuk datang dan bersalaman untuk langsung mengenali, keberanianku hanya cukup untuk mengawasinya saja. Ah, dalam hati ribut sendiri sembari harapan dibawa pergi menjauhi untuk saling memiliki.
Di hari pertama itu tak ada satupun guru yang masuk untuk mengajar, hanya datang lalu pergi keluar dan asiknya tak ada tugas yang harus dikerjakan. Aku duduk dibelakang barisan ke 2, dan Fira duduk bersebarangan jauh dari temat dudukku. Aku perhatikan ketika ia sedang bercanda dengan teman-temannya, senyum terurai membuat hati ini kian gontai. Ketika menggelak tawa, matanya sangat indah juga serasi dengan kelopaknya. Seketika terlintas doa dan rasa terima kasih untuk Tuhan karena telah mencipta gadis seindah dia. Saat sedang senyam-senyum sendiri memandangnya, berkhayal jauh tentangnya, tiba-tiba tidak disengaja Fira menoleh kearahku. Jantungku berdebar keras, badan seperti butuh tiang penyangga untuk dapat berdiri dan ekspresi gugup membuat sekujur tubuh gemetar beriiringan.
Aku pasrah dan menyerah, Tuhan..

                                                                        ******
Aku bangun dan melihat jam dinding di samaping lemari. Pukul setengah dua belas siang. Dengan lunglai aku menuju kamar mandi untuk bersiap pergi ke sekolah.
Aku siap, tak lupa sebelum berangkat membaca doa yang telah diajarkan guruku. Dengan perasaan sedikit malas aku berangkat menuju sekolah.
                                                                        ******
Gerbang sekolah terlihat ramai, siswa-siswi yang belajar pagi baru selesai. Kini, giliran siswa-siswi kelas 11 masuk karena sudah tradisi jika anak-anak kelas 11 masuk disiang hari. Diparkiran aku bertemu dengan Felix teman sabangku ku.
“Felix.” aku berteriak kearahnya yang sedang menyimpan helm di spion motornya.
“Weess, apa bro? Baru dateng lo?” menoleh kearahku sambil berjalan keluar dari parkiran motor.
“Iyanih, biasalah Bogor. Kaya nggak tau aja macet sama angkotnya, suka ngetem disembarangan tempat,” aku tersenyum kecil mengkritisi mengenai kota yang aku cintai.
“Hahaha, iya bener banget tuh apalagi siang-siang gini. Vin, udah agak telat nih, cepetan masuk yoo. Sekarang pelajaran ekonomi, lo mau entar diomelin selama dua jam pelajaran? Kaya nggak tau aja siapa gurunya,” Felix tertawa keras membuat kulitnya yang putih kemerah-merahan. Dan ia pun mengingatkanku tentang guru yang terkenal bawel dan comel itu. Dan kami berdua pun berlari-lari kecil menuju tangga kelas.
                                                                        ******


“Anak-anak untuk materi tentang kurs ini, akan dibagikan beberapa kelompok. Untuk kelompoknya akan dibagi sesuai jadwal piket. Ada yang keberatan?” Suara khas Pak Herman terdengar ke seantero isi kelas.
“Pak, jangan sesuai jadwal piket deh, gimana kalo dipilih sendiri-sendiri aja?” Anis mengacungkan tangan dan merasa keberatan.
“Oh yasudah kalau begitu tetapi bapak minta satu kelompok diisi tiga wanita dan dua laki-laki. Cukup jelas anak-anak? Sekarang segera kumpulkan nama-nama anggota kelompok didalam kertas selembar,” Pak Herman pun mengabulkan permintaan Anis namun tetap dengan sebuah persyaratan.
Dan teman-temanku dikelas sibuk bernegosiasi untuk memilih anggota kelompok. Ada yang sudah menemukan kelompoknya karena mereka satu geng, ada yang masih sibuk memohon kesana-kesini untuk masuk kedalam kelompoknya, juga ada yang menawari diri agar dipilih sbagai kelompok yang diisi murin favorit. Sebenarnya sempat aku dan Felix bingung karena tak ada satupun yang mau memasukan kita kedalam kelompok mereka. Apa daya jika tak ada yang mau, maka harus berbesar hati menerima kelompok sisa yang ada.
“Vino, lo udah dapet kelompok belum?” terdengar ada suara manis, merdu memanggilku dari belakangku.
“Belum, nih kayannya nggak ada yang mau deh satu kelompok bareng gua sama Felix.” menoleh kearah sumber suara dan ternyata itu Fira.
“Oh kalo gitu mau nggak gabung sama kelompok kita?” mengajakku sembari memegang pulpen dan sehelai kertas untuk menulis nama-nama anggota.
“Oh yaudah oke deh, tulis juga si Felix, dia juga belum dapet kelompok, Fir.” menunjuk kearah Felix yang duduk melamun dengan khayalan terbang tinggi.
“Iya, kalo gitu yu gabung ke meja gue sekarang barengan sama yang lain,” tangan lembut menarik lenganku untuk segera menuju mejanya. Andai ini tangannya ini bisa bertahan lama memegang lenganku.
“Iya, iya. Tapi bentar manggil  si Felix dulu.”
“Felix, Felix kesana,” berteriak memanggilnya sambil mengisyaratkan tangan kananku untuk menuju meja Fira.
“Oke,” suara Felix sayup terdengar samar karena dikalahkan bisingnya suara lainnya, dan jempolnya ia angkat keatas langit.
                                                                        ******
Berada satu meja yang hanya terhalang satu kursi membuat fikiran ini terbang, namun kemudian jatuh.
Terbang, karena terlalu bahagia dan juga ini pertama kalinya Fira menyebut namaku dengan benar. Cukup mengejutkan memang karena selama ini aku hanya memandangnya dari kejauhan, untuk mendekat dan berkenalan pun rasanya sekalipun tak  pernah. Satu hal yang pasti, dia tau namaku. Namun membuatkan jatuh kembali jika mengingat waktu yang kuhabiskan untuk diam, dan memandang indah dari kejauhan. Untuk sekedar kita berkenalan harus membutuhkan waktu delapan bulan, sia-sia kah ini semua? Namun kata para pujangga tidak ada yang sia-sia selama mau berusaha. Aku harap itu memanglah ungkapan bijak, dan akan tetap bijak jika dilakukan.
“Vin, Vinooo!!! Ini gimana kalo ngitung kurs rupiah ke euro?” lima jemari Fira mendadah-dadah dihadapan wajah, memecah angan dan renungan yang berada difikiran.
“Ehhhh, apaan? Maaf lagi nggak konek?” dengan gelagapan juga dengan senyum malu aku kembali melihat sebuah buku besar akutansi.
“Ah kusut nih orang, bengong terus dari tadi. Mikirin pelajaran apa mikiran pacar yang belum dikasih makan sih?” Felix mendorong bahuku sehingga membuat posisi dudukku bergeser lebih mendekatkan kepada Fira.
“Ah ngaco lo, udah-udah ini fokusin dulu nih soal jangan becanda mulu, entar nggak kelar-kelar ini soal. Biar cepet ngitungnya pake handphone aja, keluarin gih!” wajahku sedikit muram namun kulihat satu kelompok tertawa mendengar apa yang dikatakan Felix. Dan tanpa disadari aku memperhatikan Fira walaupun aku sangat yakin dia tidak tau sedang diperhatikan. Senyumnya serasi diantara kedua lesung pipi, bibirnya merah membuat gradasi di dasar warna kulit putihnya.
Membuatku semakin yakin, dialah wanita yang kutunggu untuk kucinta.
                                                                        ******
Bermula dari kelompok pelajaran ekonomi itu, kita kini lebih sering berbicara bersama. Aktif dalam bercenda ketika pelajaran dan ketika guru tidak ada, pasti kita berdua habiskan bersama. Walaupun aku terlihat kaku namun Fira membuatku semakin cair didalam tumpukkan ragu. Dan kita juga sering pulang bersama, mungkin bagi Fira itu hanya kebetulan bertemu dijalan namun sebenarnya itu adalah sebuah perencanaan. Setiap jam pulang aku mengendap dan menunggu di kantin, menguntit apakah Fira sudah pulang atau belum. Jika sudah aku berjalan dibelakangnya secara perlahan, agar semua terkesan kebetulan, sebab aku takut jika Fira tau ia tidak akan mau melewati jalur ini lagi.
Untuk sekarang ini tidak ada sedikitpun hari yang kusia-siakan bila bersamanya. Ada hal lain yang berbarenngan akan selalu ada dalam setiap keadaan yang tercipta sekarang, yaitu status. Teknisnya kita berdua hanya teman, tidak lebih. Namun rasa yang kupendam melampaui status yang akan selalu ada jika kita bersama, teman. Seringkali semangat menggebu-gebu ingin memiliki, dicintai kembali dan ketika rindu tak perlu harus membuat bingung sendiri. Tetapi pertanyaan yang kesepian ajukan selalu sama,
“Apakah dia merasa sama seperti yang kamu rasakan?”
Kurasa tidak, dia sendiri selalu menganggapku seperti teman lainnya. Bahkan jika tau dia akan mengerti tentang puisi-puisi yang aku beri, yang kubuat sepenuh hati, setumpuk rindu dan segumpal doa sederhana. Sesederhana, dia tau apa yang ada dihatiku.
Dan pada suatu sore yang mendung ketika hujan baru saja turun dan gerimis sisa hujan lebat  enggan untuk pergi, pada waktu itu Aku dan Fira sedang menunggu hujan reda sembari berbincang dan bercanda di suatu halte Jalan Baru ada sebuah realita lagi yang membuatku semakin yakin, Fira tak pernah sedikitpun cinta padaku. Fira memiliki pacar bernama Diki. Dia sendiri yang menceritakan dengan antusias tinggi, dari matanya ketika bercerita banyak tentang Riki. Aku sudah mengetahui dia diselimuti rasa cinta sepenuh hati, tanpa sisa untuk Aku-yang-selalu-ada-bersamanya.
“Vino, hari ini gue lagi seneng banget tau,” tersenyum-senyum melihat layar smartphone yang ia genggam.
“Bukannya setiap hari juga lo seneng kan? Setiap hari juga lo sering cengengesan,” suara dingin tanpa sadar aku ucapkan dan pandangan kaku tetap mengintai angkot yang kita tunggu.
“Tuh kebiasaan jawabnya dingin terus, sekarang bahagianya beda tau. Lo nggak tau emang kalo gue sekarang udah punya cowok, ganteng parah namanya Diki. Bentar lagi katanya dia mau jemput kesini, tungguin gue ya sampe dia dateng. Makanya gue bahagia banget sekarang,”
“Oh gitu, iya entar gue tunggu sampe cowok lo dateng. Lo bahagia banget sekarang? Memang lo nggak pernah bahagia kalo sama gue?” seketika pertanyaan itu terlontar, pertannyaan yang telah lama ingin kutanyakan dan kucoba lenyapkan. Membuat percakapan terasa senyap terlebih aku menanyakan dengan serius.
“Yaa bahagialah kan lo temen terbaik gue, yang selalu ada buat gue. Kalo gue nggak ngerti pelajaran, gue nanya sama lo. Ulangan lo sering banget gue contekin dan curhat pun gue cuma sama lo. Masa iya gue nggak bahagia sama lo Vin. Karena Tuhan menciptakan Vino buat jadi temen gue hahaha,” jawab Fira dengan ekspresi seperti biasa, tersenyum indah.
Sebuah motor matic hitam dengan jas hujan biru berhenti didepan halte dan terlihat Fira melangkah kedepan dengan senyuman. Ternyata ini dia lelaki paling beruntung didunia yang telah memagari hati bidadari yang dititip oleh surga, untuk dijaga.
“Vino duluan yaa, bye-bye,” pamit lalu menaiki motor untuk diantar ketempat asal singgasananya.
“Oh iya, hati-hati,” senyum getir terpaksa harus dipaksa untuk berbahagia melihatnya.
Sejak dari sore yang mendung itu aku memutuskan untuk tak akan pernah menunggu Fira lagi. Aku merasa terpukul telak dibagian wajah, dalam hal ini hatiku luluh lantah melihat dan mengetahui itu semua. Rintikan hujan di senja itu membuat matahari tau dan tak mau menampakan diri di awan mendung itu, mungkin dia tau ada seorang lelaki yang diterjang badai hebat dihatinya. Namun didalam keadaan aku terus dipaksakan untuk terus menebar  senyuman, aku akan tetap berjuang untuk membuat Fira nyaman.
Kulakukan, atas nama persahabatan..

                                                                        ******
Tak terasa sudah dua tahun aku bertahan, bersembunyi dibalik topeng persahabatan untuk menjaga perasaan yang sedari dulu terus aku tekan, agar tidak mucul ke permukaan. Sekarang sudah diakhir penghujung semuanya harus berakhir. Detik yang terus bergerak membuat dua buah pilihan, menahan atau ungkapkan. Walaupun dikelas 12 kini aku duduk bersebelahan bersama Fira tetapi entah mengapa setiap waktu membuat hati gundah dan gelisah. Kurasa kini dia mulai mengendus sesuatu yang beda dari biasanya dariku namun dia hanya berpura-pura tidak mengetahuinya, entahlah. Anehnya tujuan ku kini terasa bergeser haluan dari yang “ingin memiliki” menjadi “ingin melihatnya bahagia” mungkin karena aku terlalu sadar diri jika untuk memiliki seperti memancing paus menggunkan plastik. Dengan Fira tertawa, aku bahagia. Apapun yang Fira bicarakan seperti ada kewajibanku untuk ikut masuk  dalam  percakapan.
Hingga pada suatu pagi yang diawali hujan dari gelapnya biru dilangit sehabis shubuh, membawa rintikan hujannya hingga jam 9 pagi. Ketika itu ada tugas bahasa indonesia untuk membuat puisi, aku yang lupa tidak membuat barisan puisi untuk tugas itu panik. Namun aku berfikir jernih, aku ingat di handphone nokia ku ini ada beberapa soundcloud dari Dara Prayoga penulis yang amat kusukai karya-karyanya. Terlebih bukunya sejalan dengan kisah hidupku. Aku ingat judul Soundcloud nya adalah; 1000 Tahun Aku Akan Menunggu. Setelah ku dengar lalu ku tulis dalam secarik kertas kemudian ku bawa ke meja guru.
“Bu, ini bu puisinya. Maaf ya bu kalo jelek,” berbicara seperti layaknya puisi dibuat adalah hasil pemikiranku sendiri.
“Puisinya bagus Vin, kamu buat sendiri?”
“Nggak bu, dapet dari internet,” gugup dan takut dimarahi.
“Oh yaudah, kembali ketempat duduk kamu,”
Aku membawa secarik kertas itu kembali ke mejaku. Dari depan aku melihat Fira sedang menulis, tanpa fikir panjang aku memastikan langkah dengan satu tujuan yaitu memberikan puisi ini kepadanya.
“Fira, lagi apa?” duduk disebelahnya dan melihat bukunya.
“Lagi nulis,” jawabnya
“Fir, gua mau ngasih puisi lagi nih buat lo. Lo masih mau nerima puisi yang gua kasih kan? Tapi bacanya entar aja dirumah kalo bisa pas malem-malem supaya lebih beras” menjulurkan kertas kesebelah buku yang sedang ia tulis.
“Oh iya maulah, kalo gitu masukin ke tas dikantong kecil belakang supaya nggak lupa,” dia berbicara padaku namun matanya tetap serius menulis.

******
Kamu tau? mata ini berbinar ketika mendengar gelak tawa saat kita bercanda
Mungkin kamu tidak sadar aku melihat selengkung pelangi dimatamu saat berkisah tentang hidupmu
Semua yang kamu tau apa yang aku katakan sebagai respon ceritamu itu seperti motivator menceramahi audiensnya
Namun yang aku rasakan aku melakukan semuanya atas nama rasa,
Rasa berupa degup kencang ketika kepalamu begitu dekat dengan pundakku saat duduk berdua
Rasa berwjud gugup saat kamu dengan antusias mengajakku berbicara untuk bercerita dan rasa berbalut cemburu ketika kamu dekat tapi bukan denganku
Kadang sepasang lelaki dan perempuan lupa bahwa mereka hanya sekedar teman tidak lebih, yang lebih hanya rasa diantara mereka
Kadang  juga dalam sebuah pertemanan dua manusia saling memiliki rasa dan saling  menyangkal pula itu cinta
Seperti yang aku rasakan padamu, jika tidak mengapa seorang teman bisa secemburu ini seperti aku kepadamu, apakah kamu merasakan hal yang sama kepadaku?
Teman antara sebuah hal indah yang bisa mendekatkan aku dengan kamu atau sebuah omong kosong yang menjadi penghalang bersatunya hati kamu dengan hati aku
Seribu tahun aku akan menunggu
Aku ingat itu adalah sajak terakhir dalam secarik kertas yang kuberikan pada Fira. Meskipun masih ada puluhan puisi ataupun cerita mengenai Fira di laptopku. Namun untuk kuberikan padanya cukuplah itu yang terakhir. Dimalam setelah kuberikan puisi terakhir hati ku diguncang perasaan aneh, memikirkan apakah Fira menyukai puisi itu atau tidak. Sejenak aku merenung, aku terlalu pengecut dan takut. Mana mungkin Fira tau jika aku tak pernah berbicara tentang apa yang dirasa. Aku sudah berfikir dua kali atau mungkin ribuan kali tentang ini dan akhirnya ini memang sudah dalam tahap semuanya telah berakhir. Mungkin bagi Fira ini adalah sebuah tali persahabatan, namun untukku ini sebuah bunga karangan bertuliskan atas nama persahabatan. Persahabatan mana yang harus mematikan perasaan.
Dalam persahabatan, apakah harus perasaan yang digadaikan untuk hilang dan dibiarkan mati tertelan kebersamaan? Adilkah?
                                                                        ******
Itulah puisi terakhir sekaligus terakhir kalinya aku duduk berdua bersama Fira karena setelah hari itu aku memutuskan untuk pindah kursi ke depan. Menimbulkan sebuah tanya atas alasan yang kulakukan namun aku pergi bukan karena cinta ini sudah hilang ataupun tergerus arus untuk menyerah. Justru karena ingin memperjuangkan persahabatan, aku memilih mematikan cinta yang ada. Mungkin ini adalah salah satu cara untuk Fira dapat berbahagia dan tidak terganggu oleh puisi aneh dariku. Karena siapapun yang menjadi tambatan hatinya mereka haruslah lelaki-lelaki yang berani, yang menjaga, bukan seperti aku yang terlalu takut ataupun pengecut yang terus menurut pada sebuah ungkapan. Demi ungkapan itu hatipun dipertaruhkan dan rasa sakit harus ditahan dalam waktu entah sampai kapan. Meski selalu berbahagia atas apapun yang pujaan hati capai sebenarnya hatinya terus berderai air mata, benaknya ramai oleh tujuan yang harus dikepinggirkan. Sebenarnya pencapaian tertinggi yang ingin kucapai adalah menggapaimu dalam rasa saling sayang.
*Ungkapan seorang teman tidak akan menjadi pasangan.*
Percayalah, Fira walaupun aku sangat tau aku gagu dalam menyatakan cinta padamu sebenarnya aku hanya ingin berjuang demi persahabatan kita. Maaf aku telah mencorengnya  dengan perasaan yang kupunya namun bukankah cinta itu datang tiba-tiba, tanpa permisi? Apakah aku salah menyimpan harapan kepadamu? Salahkan jika seorang teman jatuh cinta padamu? Jangan pernah untuk berfikir jauh tentang aku yang mulai menjaga jarak untuk kita, ini semata-mata karena ucapanmu dulu. Kita tercipta hanya sebagai teman. Namun jika kamu tau aku selalu berdoa agar Tuhan berkehendak lain, agar kita tercipta menjadi pasangan.
Akhir dari semua ini tepat seperti yang kamu impikan, berakhir dalam persahabatan. Namun melenceng dari yang aku perkirakan, kukira akan berakhir dalam satu naungan. Ternyata tidak sama sekali.
Fira, aku memutuskan untuk mencintaimu dari jauh, dari tempat yang sama sekali kamu tidak pernah lihat. Sebuah tempat yang sangat gelap namun cahayamu cukup terang untuk kulihat dari sini. Jangan resah jika aku tak lagi ada disampingmu, aku hanya berpindah tempat mengawasimu. Percayalah setiap puisi yang kuberikan untukmu jika kamu membacanya, aku akan ada disampingmu. Memeluk erat jiwa terdalam hatimu, dan melukis sedikit senyummu.
Oh iya gelang yang kuberikan bertuliskan “Friend” itu kumohon simpan, karena aku membawanya hingga ke tempatku yang baru kini.
Mungkin aku menulis ini seperti sebuah cerpen yang sulit dimengerti, tidak beraturan dan melanggar kaidah penulisan yang ada. Aku sangat ingin catatan ini kita baca berdua dan kuberikan sendiri untuk kita tertawakan, namun apa daya pasir waktu sudah habis dari gelas bejana. Satu perrmintaan yang sangat ingin kamu lakukan, tetaplah menebar senyum seindah mentari yang dimilika oleh mu, Fira. Dan tersenyumlah selagi kamu masih bisa tersenyum. Karena semua ini telah berakhir untukku, namun belum berakhir untuk dirimu.
Fir, untuk sesekali kunjungilah rumah baruku yang sederhana nanti, bawalah sedikit parfum bunga melati untukku, ya.
Satu lagi, ada puisi yang berhasil kuselesaikan sebelum aku pindah ketempatku yang baru ini terinspirasi dari lagu Tears In Heaven- Eric Clapton. Mungkin kamu akan bertanya dimana sebenarnya rumahku yang sekarang, dan dimanakah aku sekarang berada. Puisi ini akan menjelaskan pertanyaan yang ada.

Sudahkah kamu mengenaliku dengan baik?
Apakah kamu akan benar-benar mengenalku dengan baik nanti?
Kurasa tidak, kamu telah banyak mengenali dengan baik lelaki sempurna lainnya
Apakah kamu akan mengingatku ketika aku sudah menapaki surga nanti?
Mungkinkah kamu akan menggenggam tanganku ketika kita dipertemukan disurga nanti?
Apakah senyummu akan tetap sama ketika aku menatapmu disurga nanti?
Apakah puisiku akan tetap kamu bacakan ketika kamu sedang membca buku nanti?
Apakah namaku akan kamu sebut ketika kamu ingat sesuatu tentangku nanti?
Apakah rindukku akan berbalas ketika aku kesepian disurga nanti?
Akankah sama rasanya hangatnya didekatmu dengan kehangatan disurga nanti?
Apakah kamu mendengar tangisan kerinduan yang kuteriakan disurga?
Akankah kamu melihat silluet fatamorgana lambaian tanganku didalam mimpimu?
Bisakah kita bertemu didalam mimpi jika aku sudah terbaring lemah dalam akhir perjalanan?
Jika bisa aku hanya ingin bilang aku sayang padamu lebih dari jarak dari perputaran waktu
Akankah aku berjalan tenang ke singgasana terakhir jika cinta belum tersampaikan?
Dan apakah kamu mau menadah tangan terselip doa untuk menemaniku perjalananku nanti?
Itu hanya sedikit sebuah tanya ketika aku tiada nanti
Sebuah tanya yang akan menimbulkan tangisan dari surga.
Karena aku tidak bisa hidup entah sampai kapan, aku hanya bisa hidup hingga waktu yang Tuhan tentukan.


**If you know i love you, it just began of my tears in heaven**

Catatan ini kutinggalkan untukmu, Fira Anggiswari


Temanmu
Vino Razianska





***braaaaaakkk***
Terdengar pelan suara buku terjatuh, diiringan suara tangis wanita yang tertahan. Mulutnya membungkam diri, dan terlihat ada jalur air mata antara mata dengan pipi hingga jatuh ke lantai. Matanya semakin lebam karena coba menahan air mata yang terus berjatuhan, hatinya serasa di tusuk dan fikiran idealisnnya terasa ambruk. Tak ada yang mampu ia katakan dan dia tak mau mendengar apa yang orang lain coba katakan, untuk menenangkan. Kini ia hanya mampu menyesali karena tak pernah coba mengerti akan apa yang coba ingin disampaikan Vino.
Vino hanya ingin Fira mengetahui tentang perasaanya dalam hati. Dan juga Vino berjuang demi persahabatan yang coba dirusak dengan adannya perasaan untuk ingin memiliki lebih dari sekedar teman.
Benar kata Vino Akhir dari semua ini tepat seperti yang kamu impikan, berakhir dalam persahabatan. Namun melenceng dari yang aku perkirakan, kukira akan berakhir dalam satu naungan. Ternyata tidak sama sekali.”


--Sebenarnya pengorbanan yang tak kenal waktu adalah salah satu cara terhebat untuk menghabiskan waktu tersebut, namun kadang kita lupa selalu ada hal yang harus dibayar untuk beberapa hal yang kita abaikan dalam pengorbanan itu, dalam kasus ini adalah perasaan--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar