Kuharap pada malam-malam selanjutnya kita akan kembali
kesini, ketempat kursi taman dibawah lampu-lampu remang. Mereka kedinginan,
rasa hangat mereka hanya terdapat pada kedua paha dan pundak kita.
Mereka merindu suara-suara ceria, dan gelak tawa. Mereka seringkali
harus berpura-pura kuat meski pondasi kayu tengah bergelumur rayap. Tontonan romantis
yang nyata adalah ketika kedua bibir saling beradu, kayu penyangga punggung
akan melengkung tersenyum karena pada saat itu mereka melihat realita akan
sebuah aksi nyata mengenai romantika.
Mereka rindu diduduki, mereka rindu ditemani, mereka suka
ditiduri dan mereka berharap ketika malam meninggi keberadaan mereka tak
terlupa oleh kita yang seringkali berbuat sesuka hati.
Percakapannya seringkali terdengar ringkih seolah sedang
menjahit bagian-bagian pedih. Dia bercengkrama dengan lampu remang-remang jalan
yang nasibnya tak jauh berbeda. Pada suatu malam yang tak perlu dijelaskan
terdengar gemelutuk sendi kayu beradu dengan rumput-rumput basah sehabis hujan.
Dia sedang mencurahkan pada lampu oranye malam, yang bersedih karena sering
dimatikan dan diabaikan.
“Aku kedinginan. Sendi dan lem kayu pemberian mereka sudah tak rekat lagi mungkin ketika awan menangis perlahan aku akan terhempas habis oleh air yang mengikis.”
“Jika kamu kedinginan, aku gontai tanpa energi. Seringkali aku menerangi, setiap hari aku berdiri menunjukan arah pulang ketika matahari sudah tergelincir, ketika senja sudah menghitam dan ketika kelelawar mulai berlari. Kini ketika semua jasaku tergantikan aku tak lebih dari perpaduan baja dan bijih besi yang menancap kokoh berdiri untuk melengkapi kesedihanmu.”
Sontak, mereka berdua tiba-tiba sekata, seirama dan
bersamaan berbisik lemah
“Mungkin inilah hal paling layak dilakukan untuk benda mati, semoga mereka yang hidup tak pernah saling mengabaikan.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar