Di penghujung malam menjelang pagi,
entah sudah beberapa aku berbisik pada dinding-dinding kamar. Mencari posisi
terbaik sembari mengangkat kedua tangan sedada mengucap barisan-barisan
himpunan doa. Rajutan, rangkaian dan semaian kata yang di rangkum seindah
mungkin, untukmu. Siapa lagi selain kamu?
Mataku berat penuh kabut, hati gamang
kian manut. Rengekan-rengekan permintaan saling menyikut keluar dari mulut, ah
lagi-lagi ini tentang kamu.
Ini malam kedua dimana aku melakukan
rutinitas yang sama, enggan tidur karena mengadu pada malam di tempat yang
sama. Di sisi lampu redup, yang kalah terang oleh bintang utara. Menurut
mitologi Yunani kuno, ketika tersesat maka lihatlah ke arah utara karena ia
akan menuntunmu menuju jalan keluar. Aku mencobanya, seraya mencari pedoman
unntuk memutuskan pilihan. Dan kutemukan bintang utara yang membawaku kedalam
tempat yang lebih baik, yang sebelumnya hitam legam seperti dalam gua tak
berpenghuni.
Bintang berwujud wanita, yang tercipta
untuk menuntun, membawa angin ke dalam perubahan, meyakinkan bahwa dengannya
kita masih mempunyai kehidupan yang kedua meski telah hancur sebelumnya. Itu
kamu.
Kupejamkan mata, kususuri sudut terdalam
hingga terluar arah hati ini dan aku mencari, kemudian apa yang aku temukan?
Cahaya. Terang, indah, mewah dan anggun sekali? Apa itu matahari? Bukan!
Sekarang adalah waktu malam menjelang pagi. Mungkinkah bintang utara? Bukan! Ia
masih terlampau jauh untuk sekedar menggapainya. Ini pasti adalah rembulan,
senyum rembulan yang mewakili matahari di malam hari, ah ternyata bukan juga.
Cahaya ini berwujud manusia, seorang dewi. Sumber cahaya yang memancar terletak
pada arsiran antara lengkung bibir dan lesung pipi yang terlukis serasi. Ah
ternyata yang kutemukan adalah senyummu. Lagi-lagi senyummu menancap kokoh di
tengah-tengah nadi, menyatu padu dalam aliran arteri, mengapa semuanya jadi
selalu kamu?
Aku tergeletak tak berdaya, seketika
rindu menghujam hati yang meronta-ronnta karena terlalu cinta. Cinta? Singgah
lagi di puing-puing hati ini? Kini aku tak bisa mengelak karena setiap kali
melihat gelak tawanya, tubuhku terbujur kaku hingga jantung melambat berdetak.
Ah lagi-lagi jatuh cinta, lagi-lagi di
kunjungi rindu, lagi-lagi cemas menunggu, lagi-lagi pura-pura, lagi-lagi larut
dalam bahagia, lagi-lagi melewati fase menahan luka, lagi-lagi saling cemburu,
lagi-lagi dan lagi-lagi....., aku membuat kekacauan di hati ini.
Untuk itu aku membuat perayaan kecil
karena kembali mengalami dinamika ini, lagi. Ku pasang lilin di setiap sudut,
mengelilingi mural dengan dasar warna merah pekat tidak lupa dengan sebuah
tulisan bercetak tebal bertuliskan.
“Cinta yang baru bisa saja mendatangkan dua hal; menghapus luka lama atau memberikan..., duka yang sama.”
Meskipun semuanya belum berubah menjadi kepastian, namun semuanya akan kuperjuangkan.


Keren (y)
BalasHapus