Translate

Rabu, 21 Januari 2015

Malam



Di suatu sore yang gelap, sore yang berawan abu pekat mengantarkan aku pada sebuah ingatanku pada sebua percakapan yang pernah aku tulis hampir setahun yang lalu. Ketika bulan berselimut disetengah lingkarang tertutup awan dan terangnya kalah oleh ribuan titik bintang. Di atas loteng aku merebahkan badan sembari mengajukan beberapa kegelisahanku pada malam yang jujur itu.


Malam, sudahkah kau menghitung berapa dosaku karena telah menelantarkanmu? Maaf keadaan ini tidak disengaja, semua merupakan rangkaian semesta. Malam, aku ingin berbagi cerita dalam paragraf kepadamu seperti dulu, sesekali bermesraan oleh semilir angin menggelitik dan pancaran redup sinar rembulan yang begitu muram. Secangkir kopi yang semakin panas, dan begitu pahit ini menemaniku bercengkrama denganmu kali ini, maka nikmatilah.

“Kau tak perlu menghitung dosamu, tugasmu hanya menghindari dosa yang akan dan sedang kau lakukan. Ada malaikat yang bertugas diutus Tuhan untuk menghitung segala tindak yang kau lakukan. Semua ini rentetan, akan ada benang yang tak terlihat dan akan menuntunmu ke dalam garis ujungnya. Hahaha, kau sama sekali tidak berubah secangkir kopi yang kau sesap perlahan malah akan melarutkanmu kepada sebuah palung ingatan teramat jauh. Kafein membuamu insomnia dan menarik kembali segala kemungkinan bahwa kau telah melupakan sesuatu, jika kau menikmati maka siapkan hatimu tertusuk duri.”

Malam, apakah dunia ini diciptakan penuh dengan intrik? Mengapa semuanya kadang sebegitu menarik sehingga aku terlalu dalam bermain kedalamnya? Kali ini aku tidak sedang bernafsu bercerita mengenai kesepian, kesendirian ataupun hanyut dalam arus cinta terhalang bisunya kata. 

“Semua yang ada didunia memang begitu adanya, terkadang licik namun peran seorang yang mengubah persepsi itu adalah orang yang sebenarnya paling menarik maka jadilah salah satu darinya. Hahaha, cinta, cinta, cinta. Mengapa manusia selalu saja berkeluh kesah mengenai apa yang akan dan sudah menjadi kodrat dan hakikatnya? Apapun bentuk cintanya, tetap saja bersahabatlah dengan cinta.”

Jangan mengejekku seperti itu, aku tau kau mengetahui seluk-beluk dari kisah yang resah sejak aku dahulu. Bahkan kau hafal dengan jelas mengenai doa-doa singkat dengan harapan yang padat, nama-nama dan sepotong angan agar dapat bahagia. Kau memang selalu membenturkan semua perasaanku tepat kedalam bagian yang sedang pedih, kau tak pernah basa-basi. Dahulu, aku takut padamu karena kau selalu datang menghantuiku dengan harapan yang semu. Ya, dahulu aku berfikir begitu sebelum aku tau bahwa kau sebenarnya hanya inginkan aku tak lemah pada keadaan.

“Aku tak merendahkanmu ataupun mengejekmu, aku hanya membuatmu berfikir lebih mendalam dan realis kepada kenyataan. Jangan menganggap semua yang ada dibumi ini fana, pilihlah yang hakikatnya ada dan nyata. Aku tak mau melihatmu melemah kepada cobaan, karena setiap kali kau akan melemah kepadanya niscaya ia akan lebih keras menghantamu menuju keterpurukan.”

Mungkin kau ingat, ketika menyuruhku untuk hilang? Menempatkan hidupku seakan tak pernah ada dalam hal nyata. Saranmu agar dengan segera berbalik arah, bersembunyi dalam belukar indah dibalik hati. Bersembunyi dalam kesakitan, menekan beberapa luka agar hidup bisa terus dilanjutkan, walaupun terseok-seok dalam berjalan. Rasanya aku hilang dalam peradaban, membelakangi perputaran demi bertahan dalam kehidupan.

“Ya, jangan coba mengingatkanku! Karena sejatinya kau yang harus kuingatkan! Semua hal yang hilang akan dicari, dengan begitulah sesuatu akan ditemukan. Mengapa aku menyuruh kau begitu? Ya agar nantinya sesuatu yang kau kejar, sadar akan ketiadaanmu. Dan mulai mencarimu dan menyadari bahwa dirimu hilang ditelan rasa lelah. Setelah itu kau akan tau sesiapa yang akan mencarimu, apakah cinta yang kau kejar ataukah seseorang yang baru yang kan menemukan. Iya, cinta. Karena cinta, lagi-lagi.”

Jangan tertawa! Iya aku tau, karena cinta. Baiklah silahkan agar kau tertawa pada bagian ini, tapi aku akan membalasmu pada paragraf akhir nanti. Pada saat itu ada cinta yang sengaja dipaksakan tanpa pernyataan, membuat tabir sendiri dalam ketakutan. Ketika hanya jemari yang mampu memainkan peran dari mulut kedalam secarik kertas tanpa tujuan, menumpuk kertas penuh aksara dalam lemari yang bertuliskan “pengakuan” terletak di sudut ruangan. Mulutku memang terdiam, dan terhenti seketika dan melupakan satu kosakata bernama cinta. Namun tak seperti mulut yang mampu diam, jemari, fikiran, dan kehidupanku tak mau diam. Mereka memiliki inisiatifnya masing-masing. 

“Kau menyamakan seakan cinta itu hal gaib yang secara kasat mata sulit dilihat  mata dan hanya orang terpilih saja yang mampu melihatnya secara gamblang. Pertimbanganmu itu sangat aku mengerti, namun lagi-lagi aku katakan sampai kapan kau akan melawan sesuatu hal yang telah menjadi hakikat manusia yang bernamakan cinta itu? Pada waktunya, cinta yang kau tekan itu bisa saja berubah menjadi berbagai hal. Baik ataupun buruk. Dan untuk kau ketahui, pada akhirnya kau akan menyesali bukan karena kau terlambat mengungkapkan, bukan juga kau menganggap semua ini tidak tepat waktu, melainkan menyesal kau pernah berfikir kau punya banyak waktu. Sesegera mungkin kau akan mengerti itu.”

Sampai suatu ketika, aku menyadari mengenai suatu garis akhir. Tentang hal kadang kala harus dibuat dan diputuskan secepat mungkin. Ya, mengenai kesadaran kita sebagai manusia dan kehidupan sendiri yang perlu juga mendapatkan rasa bahagia. Menyayangi dengan berbalas disayangi, mencintai dengan berbalas dicintai dan memperjuangkan dengan berbalas diperjuangkan. Merasakan bagaimana jika semua itu terwujudkan, karena seperti katamu sejak dahulu. 

Dengan memendam cinta semuanya tak akan menjadi sederhana, apapun niat baik mu sebelumnya. Karena cinta, adalah tidak tahu. Karena cinta persepsi tergantung manusia mana yang sedang dalam posisi jatuh kedalam cinta itu sendiri.

Jujur aku tak sepenuhnya paham saranmu, namun aku paham mengenai posisiku yang terjatuh. Mungkin pada bagian dan keadaan yang tidak tepat, dan yang kuperjuangkan hingga hati dalam keadaan sekarat. Sayangnya semuanya tak terlihat, kasat mata dalam jangkauan manusia biasa. Hingga aku lelah dan menyerah dalam keadaan yang sungguh terluka. Hingga langkah kaki ini kuubah haluan yang tadinya mengkuti dia yang aku perjuangkan menjadi kedalam kepekatan dan lenyap ditelah keadaan. Namun dalam hidup penuh kehilangan itu aku belajar bagaimana menghargai pemberian, memahami dari inti kesendirian dan bertahan dalam keterpurukan.

Dalam belantara hati yang gelap, lambat laun kutemukan sebuah lentera. Menuntun perlahan keluar menuju titik terang melewati lorong-lorong hitam penuh tipu daya sampai dengan menghindari lubang yang menjebak di setiap pijakan. Aku berhasil memegang terang, namun di ujung penantian aku menemukan sang pemberi terang. Ternyata adalah dewi yang dikirim Tuhan, yang katamu bukan hanya sekedar dikirim namun bertujuan untuk melihat cinta dan hatiku.

Aku bertanya 

“Apa maksudmu dikirim hanya untuk melihat cinta dan hatiku saja?”

Kau menjawab

“Dasar bodoh, sebelum dilihat kau pernah tak terlihat. Kau hanya bayangan meski ragamu manusia, namun hati dan cintamu tak nyata. Kau pisahkan mereka ditempat yang tersembunyi, sehingga mereka merasa tak diakui.”

Pada saat itu aku masih belum paham dengan maksud yang kau katakan, dan memaksamu untuk merumuskan menjadi lebih sederhana

“Sederhanakan, aku belum mengerti,”

“Baiklah, aku tau kau sudah lama jatuh cinta. Namun wanita yang kau cintai tidak pernah melihat perasaan yang kau miliki, oleh karena itu kau menghilang dengan melangkahkan kakimu diterkam kesunyian. Dalam kegelapan yang penuh luka, akhirnya kau menemukan lentera dan keluar mengikuti cahaya. Kau tau, lentera itu sengaja disimpan untukmu agar kau dapat melihat cahaya yang lebih besar untuk menuntunmu. Dan dalam perjalanan dapatkah kau melihat halang rintang didepanmu? Semua itu sebenarnya hanya sebagai pelajaran, untuk kau ambil nanti hikmahnya. Dan ketika kau keluar dari pengasingan menuju cahaya, apa yang kemudian kau lihat?”

Dengan suara perlahan aku mengeja kata itu, dan menundukan kepalaku melihat bumi sambil berkata

“Itu cin-ta,”

“Ya, tepat sekali. Kau pernah terluka karenanya, dan tentunya akan sembuh karenanya juga. Ketika cinta dan perjuanganmu tak pernah dilihat oleh manusia yang kau cinta dan karenanya kau akan terluka, maka tenanglah Tuhan pasti membuka mata manusia lain untuk melihat cinta dan perjuanganmu agar kelak berbahagia dengannya,”

Kemudian aku pun mengerti akan maksud dari saranmu. Benar  katamu, kini aku bersama dia yang melihatku. Berbahagia rasanya, namun maaf sesekali waktu untuk bercengkrama denganmu menjadi tidak sering seperti waktu aku sendiri karena kini aku telah berdua.
Malam, aku juga ingin bercerita mengenai saling mengerti dan menahan diri serta menghargai. Sudah bertahun-tahun aku sendiri hingga aku kebingungan pada waktu berdua. Mengapa ada sesuatu hal yang selalu berbelit dalam menjalani sebuah lembah kisah bersama? Banyak rasa terutama bahagia yang tak pernah terbesit sedikitpun dianganku, yang begitu dikdaya membuat keseharianku penuh senyum dan tawa. Hingga rasa sakit yang kuharap tak pernah aku tau bagimana rasanya.

“Malam, apakah kau dengar yang kubicarakan?”

“Aku dengar, bodoh. Mengapa kau bodoh sekali, ketika kau berkomitmen memulai suatu hubungan pada saat itu pula hari-harimu akan berubah. Mulai dari bahagia dan cara bagaimana bahagiamu akan berubah pula. Rasa sakit dan alasan mengapa kau sakit akan berbeda pula. Karena apa? Kau dalam tahap meleburkan, menyamakan, menyatukan, mebiasakan diri untuk menjadi kesatuan bersama pasanganmu.”

“Aku mengerti, jadi seperti itulah semuanya. Aku lupa ini adalah hal yang paling kudambakan, memilki cinta untuk memadu kasih,”

“Iya, ini semua keinginanmu sedari dulu. Yang setiap hari ketika bercerita denganku kau merengek agar kelak doamu memiliki kekasih dikabulkan. Kini semua nyata, Tuhan telah mengaminkan semesta telah membuka jalan dan kini urusanmu senidiri untuk menjalani. Tunggu, ada yang salah dalam persepsimu,”

“Apa yang salah?”

“Cinta, bodoh. Kau bilang ingin memiliki cinta, seharusnya memiliki kekasih. Itu sebuah kesalahan persepsi pantas saja kau tak pernah memahami arti dalam dunia ini. Dengarlah, cinta milik semua orang bahkan yang tak mempunyai kekasih sekalipun dapat memiliki cinta. Kau memiliki cintamu pada Tuhan, itu dapat disebut cinta. Cinta kepada sang fajar, pada sejuknya gunung dan padaku, itu cinta,”

“Terima kasih telah membenarkan persepsiku yang tadinya salah, namun bagaimana jika semua pembiasaan, pembauran itu gagal?”

Dengan suara berat dan meniup angin yang kencang jawabanmu sangat singkatmu
 
“Aku tidak tau,”

“Mengapa kau tidak mengetahuinya?”

“Kau sendiri nantinya yang menjawabnya sebab kaulah yang memulai hidupmu kepada tahap baru. Terakhir, ketika nantinya kau menelisik kebelakang dan kau tidak tertarik akan masa lalu artinya, langkah yang kau ambil benar-benar tepat,"

Aku tau jawaban itu kini, semua yang aku mulai adalah sebuah tahap untuk menjalani tahap selanjutnya dan akan terus begitu. Dan didalamnya akan banyak sekali hal baru, masalah baru dan penyelesaian yang baru. Oleh karena itu maksudmu berkata “tidak tahu” adalah benar. Sebab ketidaktahuan akan hal didepan akan membuat kita mencari agar tahu, dan mempersiapkan semuanya sebaik mungkin.

Saranmu membuahkan kesimpulan, dan itu adalah aku tidak tahu. Ya, carilah jawabanmu sendiri dan segeralah untuk mengetahuinya.

Masih banyak cerita yang terpaksa harus kusimpan, malam mulai pergi dan digantikan pagi. Langkah-langkah sibuk manusia untuk mencari rezeki sudah mulai terdengar, bising kendaraan saling bersahutan. Sedih sekali meninggalkanmu kali ini, walaupun masih ada malam nanti aku tak bisa berjanji agar kita bercengkram lagi. Sebelum kau hilang dengan pasti, mari mengucapkan sesuatu pada sang pengganti.


“Selamat datang Sang Fajar pagi, semoga terangmu mampu meniadakan jiwa yang gelap ketika berada dibawah naunganmu,”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar