Di suatu sore yang gelap,
sore yang berawan abu pekat mengantarkan aku pada sebuah ingatanku pada sebua
percakapan yang pernah aku tulis hampir setahun yang lalu. Ketika bulan
berselimut disetengah lingkarang tertutup awan dan terangnya kalah oleh ribuan titik
bintang. Di atas loteng aku merebahkan badan sembari mengajukan beberapa
kegelisahanku pada malam yang jujur itu.
Malam, sudahkah kau
menghitung berapa dosaku karena telah menelantarkanmu? Maaf keadaan ini tidak
disengaja, semua merupakan rangkaian semesta. Malam, aku ingin berbagi cerita
dalam paragraf kepadamu seperti dulu, sesekali bermesraan oleh semilir angin
menggelitik dan pancaran redup sinar rembulan yang begitu muram. Secangkir kopi
yang semakin panas, dan begitu pahit ini menemaniku bercengkrama denganmu kali
ini, maka nikmatilah.
“Kau tak perlu menghitung
dosamu, tugasmu hanya menghindari dosa yang akan dan sedang kau lakukan. Ada
malaikat yang bertugas diutus Tuhan untuk menghitung segala tindak yang kau
lakukan. Semua ini rentetan, akan ada benang yang tak terlihat dan akan
menuntunmu ke dalam garis ujungnya. Hahaha, kau sama sekali tidak berubah
secangkir kopi yang kau sesap perlahan malah akan melarutkanmu kepada sebuah
palung ingatan teramat jauh. Kafein membuamu insomnia dan menarik kembali
segala kemungkinan bahwa kau telah melupakan sesuatu, jika kau menikmati maka
siapkan hatimu tertusuk duri.”
Malam, apakah dunia ini
diciptakan penuh dengan intrik? Mengapa semuanya kadang sebegitu menarik
sehingga aku terlalu dalam bermain kedalamnya? Kali ini aku tidak sedang
bernafsu bercerita mengenai kesepian, kesendirian ataupun hanyut dalam arus
cinta terhalang bisunya kata.
“Semua yang ada didunia
memang begitu adanya, terkadang licik namun peran seorang yang mengubah
persepsi itu adalah orang yang sebenarnya paling menarik maka jadilah salah
satu darinya. Hahaha, cinta, cinta, cinta. Mengapa manusia selalu saja berkeluh
kesah mengenai apa yang akan dan sudah menjadi kodrat dan hakikatnya? Apapun
bentuk cintanya, tetap saja bersahabatlah dengan cinta.”
Jangan mengejekku seperti
itu, aku tau kau mengetahui seluk-beluk dari kisah yang resah sejak aku dahulu.
Bahkan kau hafal dengan jelas mengenai doa-doa singkat dengan harapan yang
padat, nama-nama dan sepotong angan agar dapat bahagia. Kau memang selalu
membenturkan semua perasaanku tepat kedalam bagian yang sedang pedih, kau tak
pernah basa-basi. Dahulu, aku takut padamu karena kau selalu datang
menghantuiku dengan harapan yang semu. Ya, dahulu aku berfikir begitu sebelum
aku tau bahwa kau sebenarnya hanya inginkan aku tak lemah pada keadaan.
“Aku tak merendahkanmu
ataupun mengejekmu, aku hanya membuatmu berfikir lebih mendalam dan realis
kepada kenyataan. Jangan menganggap semua yang ada dibumi ini fana, pilihlah
yang hakikatnya ada dan nyata. Aku tak mau melihatmu melemah kepada cobaan,
karena setiap kali kau akan melemah kepadanya niscaya ia akan lebih keras
menghantamu menuju keterpurukan.”
Mungkin kau ingat, ketika
menyuruhku untuk hilang? Menempatkan hidupku seakan tak pernah ada dalam hal nyata.
Saranmu agar dengan segera berbalik arah, bersembunyi dalam belukar indah
dibalik hati. Bersembunyi dalam kesakitan, menekan beberapa luka agar hidup
bisa terus dilanjutkan, walaupun terseok-seok dalam berjalan. Rasanya aku
hilang dalam peradaban, membelakangi perputaran demi bertahan dalam kehidupan.
“Ya, jangan coba
mengingatkanku! Karena sejatinya kau yang harus kuingatkan! Semua hal yang
hilang akan dicari, dengan begitulah sesuatu akan ditemukan. Mengapa aku
menyuruh kau begitu? Ya agar nantinya sesuatu yang kau kejar, sadar akan
ketiadaanmu. Dan mulai mencarimu dan menyadari bahwa dirimu hilang ditelan rasa
lelah. Setelah itu kau akan tau sesiapa yang akan mencarimu, apakah cinta yang
kau kejar ataukah seseorang yang baru yang kan menemukan. Iya, cinta. Karena
cinta, lagi-lagi.”
Jangan tertawa! Iya aku tau,
karena cinta. Baiklah silahkan agar kau tertawa pada bagian ini, tapi aku akan
membalasmu pada paragraf akhir nanti. Pada saat itu ada cinta yang sengaja
dipaksakan tanpa pernyataan, membuat tabir sendiri dalam ketakutan. Ketika
hanya jemari yang mampu memainkan peran dari mulut kedalam secarik kertas tanpa
tujuan, menumpuk kertas penuh aksara dalam lemari yang bertuliskan “pengakuan”
terletak di sudut ruangan. Mulutku memang terdiam, dan terhenti seketika dan
melupakan satu kosakata bernama cinta. Namun tak seperti mulut yang mampu diam,
jemari, fikiran, dan kehidupanku tak mau diam. Mereka memiliki inisiatifnya
masing-masing.
“Kau menyamakan seakan cinta
itu hal gaib yang secara kasat mata sulit dilihat mata dan hanya orang terpilih saja yang mampu
melihatnya secara gamblang. Pertimbanganmu itu sangat aku mengerti, namun
lagi-lagi aku katakan sampai kapan kau akan melawan sesuatu hal yang telah
menjadi hakikat manusia yang bernamakan cinta itu? Pada waktunya, cinta yang
kau tekan itu bisa saja berubah menjadi berbagai hal. Baik ataupun buruk. Dan
untuk kau ketahui, pada akhirnya kau akan menyesali bukan karena kau terlambat
mengungkapkan, bukan juga kau menganggap semua ini tidak tepat waktu, melainkan
menyesal kau pernah berfikir kau punya banyak waktu. Sesegera mungkin kau akan
mengerti itu.”
Sampai suatu ketika, aku
menyadari mengenai suatu garis akhir. Tentang hal kadang kala harus dibuat dan
diputuskan secepat mungkin. Ya, mengenai kesadaran kita sebagai manusia dan
kehidupan sendiri yang perlu juga mendapatkan rasa bahagia. Menyayangi dengan
berbalas disayangi, mencintai dengan berbalas dicintai dan memperjuangkan
dengan berbalas diperjuangkan. Merasakan bagaimana jika semua itu terwujudkan,
karena seperti katamu sejak dahulu.
Dengan
memendam cinta semuanya tak akan menjadi sederhana, apapun niat baik mu
sebelumnya. Karena cinta, adalah tidak tahu. Karena cinta persepsi tergantung
manusia mana yang sedang dalam posisi jatuh kedalam cinta itu sendiri.
Jujur aku tak sepenuhnya
paham saranmu, namun aku paham mengenai posisiku yang terjatuh. Mungkin pada
bagian dan keadaan yang tidak tepat, dan yang kuperjuangkan hingga hati dalam
keadaan sekarat. Sayangnya semuanya tak terlihat, kasat mata dalam jangkauan
manusia biasa. Hingga aku lelah dan menyerah dalam keadaan yang sungguh
terluka. Hingga langkah kaki ini kuubah haluan yang tadinya mengkuti dia yang
aku perjuangkan menjadi kedalam kepekatan dan lenyap ditelah keadaan. Namun
dalam hidup penuh kehilangan itu aku belajar bagaimana menghargai pemberian,
memahami dari inti kesendirian dan bertahan dalam keterpurukan.
Dalam belantara hati yang
gelap, lambat laun kutemukan sebuah lentera. Menuntun perlahan keluar menuju
titik terang melewati lorong-lorong hitam penuh tipu daya sampai dengan
menghindari lubang yang menjebak di setiap pijakan. Aku berhasil memegang
terang, namun di ujung penantian aku menemukan sang pemberi terang. Ternyata
adalah dewi yang dikirim Tuhan, yang katamu bukan hanya sekedar dikirim namun
bertujuan untuk melihat cinta dan hatiku.
Aku bertanya
“Apa maksudmu dikirim hanya
untuk melihat cinta dan hatiku saja?”
Kau menjawab
“Dasar bodoh, sebelum
dilihat kau pernah tak terlihat. Kau hanya bayangan meski ragamu manusia, namun
hati dan cintamu tak nyata. Kau pisahkan mereka ditempat yang tersembunyi,
sehingga mereka merasa tak diakui.”
Pada saat itu aku masih
belum paham dengan maksud yang kau katakan, dan memaksamu untuk merumuskan
menjadi lebih sederhana
“Sederhanakan, aku belum
mengerti,”
“Baiklah, aku tau kau sudah
lama jatuh cinta. Namun wanita yang kau cintai tidak pernah melihat perasaan
yang kau miliki, oleh karena itu kau menghilang dengan melangkahkan kakimu
diterkam kesunyian. Dalam kegelapan yang penuh luka, akhirnya kau menemukan
lentera dan keluar mengikuti cahaya. Kau tau, lentera itu sengaja disimpan
untukmu agar kau dapat melihat cahaya yang lebih besar untuk menuntunmu. Dan
dalam perjalanan dapatkah kau melihat halang rintang didepanmu? Semua itu
sebenarnya hanya sebagai pelajaran, untuk kau ambil nanti hikmahnya. Dan ketika
kau keluar dari pengasingan menuju cahaya, apa yang kemudian kau lihat?”
Dengan suara perlahan aku
mengeja kata itu, dan menundukan kepalaku melihat bumi sambil berkata
“Itu cin-ta,”
“Ya, tepat sekali. Kau
pernah terluka karenanya, dan tentunya akan sembuh karenanya juga. Ketika cinta
dan perjuanganmu tak pernah dilihat oleh manusia yang kau cinta dan karenanya
kau akan terluka, maka tenanglah Tuhan pasti membuka mata manusia lain untuk
melihat cinta dan perjuanganmu agar kelak berbahagia dengannya,”
Kemudian aku pun mengerti
akan maksud dari saranmu. Benar katamu,
kini aku bersama dia yang melihatku. Berbahagia rasanya, namun maaf sesekali
waktu untuk bercengkrama denganmu menjadi tidak sering seperti waktu aku
sendiri karena kini aku telah berdua.
Malam, aku juga ingin
bercerita mengenai saling mengerti dan menahan diri serta menghargai. Sudah
bertahun-tahun aku sendiri hingga aku kebingungan pada waktu berdua. Mengapa
ada sesuatu hal yang selalu berbelit dalam menjalani sebuah lembah kisah
bersama? Banyak rasa terutama bahagia yang tak pernah terbesit sedikitpun
dianganku, yang begitu dikdaya membuat keseharianku penuh senyum dan tawa.
Hingga rasa sakit yang kuharap tak pernah aku tau bagimana rasanya.
“Malam, apakah kau dengar
yang kubicarakan?”
“Aku dengar, bodoh. Mengapa
kau bodoh sekali, ketika kau berkomitmen memulai suatu hubungan pada saat itu
pula hari-harimu akan berubah. Mulai dari bahagia dan cara bagaimana bahagiamu
akan berubah pula. Rasa sakit dan alasan mengapa kau sakit akan berbeda pula.
Karena apa? Kau dalam tahap meleburkan, menyamakan, menyatukan, mebiasakan diri
untuk menjadi kesatuan bersama pasanganmu.”
“Aku mengerti, jadi seperti
itulah semuanya. Aku lupa ini adalah hal yang paling kudambakan, memilki cinta
untuk memadu kasih,”
“Iya, ini semua keinginanmu
sedari dulu. Yang setiap hari ketika bercerita denganku kau merengek agar kelak
doamu memiliki kekasih dikabulkan. Kini semua nyata, Tuhan telah mengaminkan
semesta telah membuka jalan dan kini urusanmu senidiri untuk menjalani. Tunggu,
ada yang salah dalam persepsimu,”
“Apa yang salah?”
“Cinta, bodoh. Kau bilang
ingin memiliki cinta, seharusnya memiliki kekasih. Itu sebuah kesalahan
persepsi pantas saja kau tak pernah memahami arti dalam dunia ini. Dengarlah,
cinta milik semua orang bahkan yang tak mempunyai kekasih sekalipun dapat
memiliki cinta. Kau memiliki cintamu pada Tuhan, itu dapat disebut cinta. Cinta
kepada sang fajar, pada sejuknya gunung dan padaku, itu cinta,”
“Terima kasih telah
membenarkan persepsiku yang tadinya salah, namun bagaimana jika semua
pembiasaan, pembauran itu gagal?”
Dengan suara berat dan
meniup angin yang kencang jawabanmu sangat singkatmu
“Aku tidak tau,”
“Mengapa kau tidak
mengetahuinya?”
“Kau sendiri nantinya yang
menjawabnya sebab kaulah yang memulai hidupmu kepada tahap baru. Terakhir,
ketika nantinya kau menelisik kebelakang dan kau tidak tertarik akan masa lalu
artinya, langkah yang kau ambil benar-benar tepat,"
Aku tau jawaban itu kini,
semua yang aku mulai adalah sebuah tahap untuk menjalani tahap selanjutnya dan
akan terus begitu. Dan didalamnya akan banyak sekali hal baru, masalah baru dan
penyelesaian yang baru. Oleh karena itu maksudmu berkata “tidak tahu” adalah
benar. Sebab ketidaktahuan akan hal didepan akan membuat kita mencari agar
tahu, dan mempersiapkan semuanya sebaik mungkin.
Saranmu membuahkan
kesimpulan, dan itu adalah aku tidak tahu. Ya, carilah jawabanmu sendiri dan
segeralah untuk mengetahuinya.
Masih banyak cerita yang
terpaksa harus kusimpan, malam mulai pergi dan digantikan pagi. Langkah-langkah
sibuk manusia untuk mencari rezeki sudah mulai terdengar, bising kendaraan
saling bersahutan. Sedih sekali meninggalkanmu kali ini, walaupun masih ada
malam nanti aku tak bisa berjanji agar kita bercengkram lagi. Sebelum kau
hilang dengan pasti, mari mengucapkan sesuatu pada sang pengganti.
“Selamat datang Sang Fajar pagi, semoga terangmu mampu meniadakan jiwa yang gelap ketika berada dibawah naunganmu,”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar